Gejolak Cinta Perawat Papua


SLPI - “Nama lengkap saya Yusril Yulius Lumalessil, bekerja sebagai Perawat di Kabupaten Tambrauw, tepatnya di distrik Mubrani, sebagai Perawat PTT.

Sejak lulus tahun 2011, saya melamar kerja dan langsung diterima.

Awalnya, saya sangat benci dengan dunia keperawatan. Tetapi semenjak turun praktik pertama kali dan saya dengar jerit tangis bayi-bayi kesakitan, tergeraklah kemudian hati saya terhadap profesi mulia ini. Sampai sekarang, saya menyintai profesi ini.

Awal kerja di Tambrauw, saya ditempatkan di distrik Fef. Sebuah daerah terpencil yang dihimpit oleh pegurungan yang masih asri. Sebuah pemandangan yang sangat beda dengan yang ada di bagian lain di negeri ini. Apalagi di Jawa yang tidak pernah kita menemuinya. Dari tahun 2014 hingga sekarang, saya bekerja di distrik Mubrani.

Terkadang saya kerja seorang diri. Tapi tidak mengapa, karena moto hidup saya ‘Jika kita bekerja dengan hati bersih dan baik, maka kita akan mendapatkan hal-hal yang baik dan bersih juga.’

Seperti halnya rekan-rekan lain di Bumi Pertiwi ini, saya juga mimpi untuk jadi PNS. Test beberapa tahun lalu tidak tembus. Entah kenapa. Mungkin ada permainan orang dalam atau nasib baik belum memihak saya.
Entahlah…..

Sebagai perawat daerah, yang saya kerjakan sebenarnya tidak jauh beda dengan rekan-rekan. Yang membedakan mungkin alam kami yang masih ‘ganas’, khususnya bagi mereka yang belum pernah tahu bagaimana sebenarnya ‘wajah’ Papua. Saya kerja di Puskesmas Pembantu Fef, melakukan kunjungan ke kampong-kampung, merawat orang-orang Lansia, melakukan pengobatan awal, recalculation anfra obat, sweeping Malaria, kegiatan Posyandu, dan lain-lain.

Sejak lulus SMA, saya kuliah Pelayaran di Kampus Ungu di Jakarta. Memang, sejak mau lulus, Mama dan Papa sudah bilang, masuk kuliah keperawatan. Namun, saya menolak.

Dua tahun di Jakarta, saya ingin menikmati liburan di Papua. Eh…pas pulang, ternyata saya sudah didatarkan di Kampus Stikes Papua Sorong. Sungguh berat dan ingin berontak rasanya. Hati ini menolak berat.
Sejak kuliah di Papua saya suka uring-uringan. Pendeknya, pergi pagi-pulang pagi, mabuk!

Kebiasaan tersebut berlangsung lama. Saya tidak menyadarinya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mama Papa. Meski demikian, saya tetap mengikuti kemauan beliau berdua, yakni kuliah di keperawatan. Saya tetap tidak ingin mengecewakan hati beliau berdua. Saya geluti profesi ini dengan guncangan pertentangan hebat.

Sementara itu, kebiasaan mabuk tetap berlanjut, hingga turun praktik di RSUD Kabupaten Sorong.

Bangsal pertama yang saya dapat adalah Bangsal Anak. Dengan berat hati rasanya, saya mengerjakan semua perasat keperawatan. Hingga suatu, hari saya dengar jeritan seorang anak yang seakan-akan menyentuh relung hati saya, yang paling dalam. Saya beranikan diri untuk mendekati dan menengoknya.
Wajah mungil, imut dan lucunya berubah. Seakan minta tolong……..

Itulah kenangan yang paling berkesan yang saya tidak pernah lupakan. Sejak saat itu juga, tergeraklah hati ini untuk menolongnya. Sejak saat itu saya sadar, ternyata banyak orang yang membutuhkan pertolongan di sekitar saya.

Saya hentikan semua kebiasaan lama dan memulai kehidupan baru yang lebih baik. Saya mulai belajar serta bekali diri dengan ilmu keperawatan. Hingga jadilah saya seperti yang anda baca sekarang ini.

Saudara Perawat…..

Suka duka Perawat di Papua sepertinya sudah saya wakili. Walaupun tidak menutup kemungkinan ratusan perawat Papua lainnya yang barangkali nasibnya lebih buruk ketimbang saya, yang berstatus sebagai tenaga PTT. Khususnya tingkat kesejahteraan mereka, yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja.
Bagi saya, dengan gaji Rp 2 juta dan intensif 1.3 juta Rupiah sudah cukup buat hidup di pedalaman terpencil. Sementara teman saya, dibayar Rp 1.5 juta plus tunjangan Jasmed, plus BPJS, belum tentu cukup.

Akan halnya professional development program, kami sering ikut workshop. Saya tidak merasakan ada diskriminasi terhadap kami, sekalipun kami hidup dan tinggal ribuan kilometer dari Ibukota. Saya merasa bahwa persoalan karir kami Perawat Papua ini kembali kepada individu masing-masing.

Menjadi perawat di Papua memang tidak gampang. Utamanya jika bertugas di pedalaman seperti kami. Bagi kami hal tersebut biasa. Medannya susah dijangkau, jauh, jalan sulit ditempuh, perubahan cuaca yang paling parah jika musim hujan tiba. Jalanan rusak, berlubang, becek, licin dan juga banyak yang berlumpur. Kadang kami harus bermalam di hutan.

Kami memang tidak mendapatkan fasilitas yang sama seperti teman-teman di Indonesia bagian Barat. Namun soal skill kami rasa sama saja, bahkan skill kami tidak diragukan.

Bagaimanapun, sebagai perawat Papua, secara pribadi saya berharap Pemerintah Pusat memperhatikan nasib kami. Beri kami dosen-dosen terbaik guna mengajar di tempat kami. Perhatikan juga perlengkapan, alat-alat keperawatan fasilitan kesehatan di tempat kami, agar kami tidak perlu kirim pasien ke luar Papua.

Sementara peluang kerja di luar negeri, termasuk saya sendiri, saat ini belum tahu, bagaimana caranya. Tapi saya percaya, banyak teman-teman Papua yang tertarik untuk kerja di luar negeri. Bukan untuk bergaya, melainkan pengakuan, bahwa kita sama. Bahwa kami, Perawat Papua, sejatinya berhak mendapatkan perlakuan yang sama, dengan perawat-perawat Indonesia lainnya.
Perawat Papua juga butuh pengembangan, pemerataan kesejahteraan, serta kepuasan kerja.

Salam cinta kami dari Bumi Papua buat seluruh Perawat Indonesia.”

Oleh : Yusril Yulius Lumalessil
Iwansyah
Iwansyah Seorang Penulis Pemula Yang Mengasah Diri Untuk Menjadi Lebih Baik

Post a Comment for "Gejolak Cinta Perawat Papua"